Lelaki (Cinta) Pertamaku
![]() |
Picture froom Google |
Mengenangnya adalah mengenang segala keindahan, meski kasih itu tak
pernah terucap. Seperti malam ini lagi-lagi aku merinduinya. Merindui
langkah-langkah besar kakinya, merindui
sorot matanya, merindui suaranya. Ia
laki-laki pertama yang hadir sepanjang memori merekam masa kehidupanku
karenanya tak mungkin aku melupainya. Benar, cinta pertama itu akan terus
membekas meski banyak cinta-cinta lain menorehkan warna tapi ia tak kan
terganti.
Apa yang harus aku ceritakan tentangnya agar kau tahu bahwa meski dalam
kebersamaan kami yang singkat namun banyak bagian darinya telah menjadi bagian
dariku. Diamnya sama seperti diamku. Marahnya selalu mampu meredam kenakalanku.
Ia yang mengajarkan aku rasa syukur dengan segala kesederhanaan dan kerja kerasnya
hingga terkadang membuatku merasa menjadi anak miskin. Sebenarnya miskin dan
kaya itu dilihat dari segi apa? Harta? Mungkin iya. Dan aku (dulunya)
terbiasa mengganggap keluarga kami miskin. Berpindah-pindah kontrakan dari tahun ke tahun. Seingatku ada empat rumah kontrakan yang kami tempati. Sebuah rumah dekat kantor camat ketika aku belum bersekolah, rumah papan tingkat dua yang tak jauh dari sungai ketika aku masuk Sekolah Dasar, rumah permanen dekat lapangan bola ketika aku tsanawiyah dan terakhir rumah petak sempit dekat terminal ketika itu aku baru saja akan Aliyah. Sebenarnya laki-laki itu pernah membangun sebuah rumah sederhana untuk kami di dusun Pulau Tiga ini (sebuah dusun di pelosok Aceh Tamiang) namun belum lagi kami tempati banjir bandang menghancurkan harapan kami. Kami tak menyalahkan siapa-siapa hanya geram dengan ulah para penebang liar (atau ada yang diberi izin) yang begitu rakus menggunduli hutan kami hingga tak mampu menampung debit air dan melongsorkan perbukitan.
terbiasa mengganggap keluarga kami miskin. Berpindah-pindah kontrakan dari tahun ke tahun. Seingatku ada empat rumah kontrakan yang kami tempati. Sebuah rumah dekat kantor camat ketika aku belum bersekolah, rumah papan tingkat dua yang tak jauh dari sungai ketika aku masuk Sekolah Dasar, rumah permanen dekat lapangan bola ketika aku tsanawiyah dan terakhir rumah petak sempit dekat terminal ketika itu aku baru saja akan Aliyah. Sebenarnya laki-laki itu pernah membangun sebuah rumah sederhana untuk kami di dusun Pulau Tiga ini (sebuah dusun di pelosok Aceh Tamiang) namun belum lagi kami tempati banjir bandang menghancurkan harapan kami. Kami tak menyalahkan siapa-siapa hanya geram dengan ulah para penebang liar (atau ada yang diberi izin) yang begitu rakus menggunduli hutan kami hingga tak mampu menampung debit air dan melongsorkan perbukitan.
Aku juga tak banyak protes dengan seragam-seragam sekolah yang tak pernah
baru maklum aku putri kelima dari enam bersaudara jadi banyak seragam-seragam
kakak-kakakku yang bisa kupakai. Aku sama sekali tak keberatan. Karena iapun
tak pernah mementingkan kesenangannya. Ia lebih mengerti arti pengorbanan.
Namun seiring kedewasaanku aku berfikir benarkah keluarga kami miskin?.
Kakak pertama dan keduaku (lalu aku beberapa tahun kemudian) disekolahkan Bapak
ke pondok pesantren terkenal di Langsa, ibu kota kabupaten kami ketika itu yang
tentu biaya sekolahnya lebih besar dari sekolah di dusun kecil kami. Kakak
ketiga masuk SMA di Banda Aceh dengan mengontrak sebuah kamar (padahal Banda
Aceh-Pulau Tiga jauhnya sepuluh jam perjalanan) tentu butuh biaya tambahan. Tamat dari pesantren kakak pertama dan
keduapun dikuliahkan Bapak ke Banda Aceh. Sementara beberapa anak yang rumahnya
jauh lebih bagus dari kami banyak yang putus sekolah. Bapak tidak punya kendaraan apapun hanya sebuah sepeda tua yang sesekali ia pakai
ke toko atau ke mesjid namun dengan mudah memenuhi permintaan kakakku
membelikan computer dan buku-buku yang tidak sedikit setiap bulan. Miskinkah
kami?
Bapak adalah sosok lelaki berkarakter. Ia tegas mendidik kami. Dalam lingkungan
pergaulan yang buruk (banyak penjudi, pemabuk dan hamil di luar nikah) di dusun
kami, ia mampu menciptakan kapsul pelindung bagi putri-putrinya. Keenam putrinya memutuskan berjilbab sendiri
tanpa ada yang menyuruh ketika baligh (tamat SD) padahal saat itu Syariat Islam
belum lagi bergema.Tak pernah kami diizinkan keluar malam apalagi menonton
dangdutan pada setiap pernikahan-pernikahan tetangga kami. Kami diajarkan
mengaji dan sholat di rumah. Dan ia adalah contoh langsung kami karena iapun
selalu Sholat tepat waktu di mesjid. Hidupnya begitu teratur dalam kesahajaan.
![]() |
Picture Froom Google |
![]() |
Picture Froom Google |
Hanya satu keinginannya yaitu kembali ke kampung halamannya di Beureunun
Aceh Pidie (berjarak sekitar delapan jam
perjalanan). Ia pernah berkata bahwa ia akan pulang, berhenti berdagang ketika
tiga anak perempuannya telah selesai kuliah dan ketiganya akan membantu biaya
kuliah ketiga adik di bawahnya. Kami tak tahu apakah ia benar-benar bermaksud
begitu.
Dan setelah menunaikan ibadah haji. Ketika itu aku baru duduk di kelas
satu Aliyah. Iapun pulang ke kampungnya kampung kita semua. Ia meninggal tanpa
memberikan peringatan apa-apa. Tak ada sakit. Aku tak bersamanya ketika itu
hanya seorang sahabatnya menjemputku di pesantren.
Wajah pucat Bapak menyambutku dingin. Aku benar-benar tak percaya. Aku
berharap ia hanya tertidur sebentar dan orang-orang itu salah telah mengatakannya
meninggal. Baru dua minggu yang lalu aku melihatnya duduk seperti biasa di Toko
kami sambil menunggu pembeli. Baru dua minggu yang lalu aku berpamitan padanya.
Aku ingin ia bangun!. Tahukah ia betapa aku mencintainya dan aku belum pernah
mengungkapkan isi hatiku. Betapa aku sangat ingin memijitinya ketika ia lelah,
membuatkan teh hangat seperti biasa ketika ia pulang dari toko, menyiapkan
peralatan sholatnya dan membuatnya bangga telah memiliki putri seperti kami.
Belum ada yang aku lakukan untuknya. Namun ia tak pernah lagi bangun. Aku hanya
bisa mencium kening dinginnya untuk terakhir kalinya, ikut menyolatkannya dan
mengantarkannya ke kampungnya.
Ada yang
tertinggal ketika ia pergi
Padahal ia
tak hendak kembali
Berbiru-biru
rasa yang terpendam
Berpatah-patah
kata yang terbungkam
Aku
menyelam dalam diriku
Dirinya adalah
aku
Gerak
langkah yang kutiru
Harusnya tak
membuatku bisu
Allah ampunkan segala dosa-dosanya tempatkan ia disisiMu. Sungguh ia
adalah lelaki yang baik.
Dan sepeninggalnya ia tetap mewariskan semangat luar biasa bagi keluarga
kami. Adikku dan ibuku menggantikan perannya mengurus toko kami membiayai sekolah kami. Lalu kakak kedua
setelah menyelesaikan sarjananya ia meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen di
Banda Aceh dan menemani ibu karena adikku akan melanjutkan kuliah di Banda
Aceh. Lalu ketika ibu mulai letih kakak ketigaku menyelesaikan serjananya lalu juga
pulang menemani kakak kedua.
Dan ketika keenam putrinya telah sarjanan dan berkeluarga kami meminta
ibu untuk beristirahat di Rumah yang Bapak bangun di Beureunun. Rumah yang luas
untuk anak-anak dan cucu-cucunya. Rumah yang tak sempat beliau tinggali namun
meninggalkan begitu banyak kenangan indah bersamanya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
my dad is my hero too! :) nice post :))
BalasHapuskt sm2 memiliki ayah yg hebat ya..thanks for visiting my blog..kehormatan nih dikunjungi penulis Best Seller.. semoga buku ketiganya sukses ya ^_^
BalasHapusindah banget ya mbak cerita cintanya,bikin hati jadi rindu..hehee
BalasHapusoia mbak,ada tugas nih buat mbak tentang sebelas,mau ya mbak berkunjung balik...
udah ke rmh mbak atma..oke siap bu guru! he..he..
BalasHapuscerita yg menginsfirasi mbak,,asal aceh ya,, tdk jauh dgn saya,,salam kenal kembali ya,,sxalian izin follow
BalasHapusdlu saya tidak terlalu mengerti peran ayah, tapi sekarang seiring dengan beranjak dewasa nya usia, saya mulai merasakan peran ayah itu ternyata dibalik layar dan cukup cukup berpengaruh.
BalasHapusMas Al-kahfi : trm ksh mas kunjungan dan follownya, iya dari Aceh, mas dari mana? Padangkah?
BalasHapusauraman : Besar sekali peran ayah meski kadang tak banyak kata... Trm Ksh kunjungannya :)
saya dari medan ,,tetanggaan dgn aceh,, kok nebaknya padang,,:)
BalasHapusNebak aja mas nggak ada alasan khusus...iya dekat bgt...sodara dan teman jg byk di Medan. Sekali2 jalan2 ke Aceh mas, klo org Aceh sih sering bgt ke Medan ya...
BalasHapusayah tuh yang mendidik kita untuk siap menghadapi keras dunia dengan penuh semangat,jadi menurut aku ayah tuh salah satu kunci yang menentukan karakter building dari seorang anak
BalasHapusmembaca cerita di atas membuat saya ingin pulang kampung , berkumpul dg keluarga, bertemu bapak ibu.
BalasHapusbtw, salam kenal juga yach ^_^
Andy : benar sekali,biasanya ayah yang mengajarkan kedisiplinan dan kerja keras ibu yang mengajarkan kasih sayang dan kelembutan...(nggak baku jg sih). Thanks kunjungannya ^_^
BalasHapusMbak ria haya: Smg sll ada waktu utk pulang kampung ya mbak...
ayah, kaulah lenteraku..
BalasHapuscahaya hidupku..
inspiratif banget mbak, mengingatkan kita agar selalu menghargai merekan..
btw ditunggu ya followbaliknya :)
Terima kasih Reza...Ok!
BalasHapusSuka bacanya, jadi kengen Ayahku :D
BalasHapusSemoga dalam beberapa hari ini aku bisa mudik menemuainya...
Salam kenal juga yaa...
Terima kasih mbak Yunda. Amin semoga bs berjumpa sang ayah segera.
BalasHapusselalu ingat wajah teduh ayah atun..ketika hari jum'at datang ke pesantern...alllhumma firghlahu warhamhu..
BalasHapusAmin ya Rabbal Alamin
BalasHapusTerima kasih tia..
BalasHapusTerharu...mengingatkanku pada sosok Bapak yang luar biasa...
BalasHapusInsyaAllah syurga telah menantinya...Amiiin...