Ketika Kematian Begitu Dekat
Pengalaman ini sebenarnya ingin aku
lupakan karena terkadang membuat traumatis jiwaku terungkit. Namun kesadaran
akan hikmah dari peristiwa inilah yang ingin kubagi untuk semua bahwa kematian
bisa datang kapanpun. Meski tak ada sakit yang kau derita atau usiamu masih
belia.
Pada hari Minggu beberapa tahun yang lalu
aku dihadapkan pada peristiwa yang benar-benar membuatku merasa kecil.
Sepotong nyawa yang aku miliki bagaikan partikel debu yang tak ada artinya sama sekali. Jika Allah berkehendak bisa saja aku ikut tertimbun reruntuhan atau terseret dalam air bah Tsunami yang mengganas. Minggu itu tanggal 26 Desember 2005 aku berada di Lingke di kos seorang teman karena rencananya kami akan menghadiri acara reuni teman-teman sekolah dulu. Kamu bisa lihat di peta betapa Banda Aceh yang terletak di ujung Sumatra begitu kecil dibanding luas lautan yang mengelilinginya, yah seperti pulau-pulau lain juga di Indonesia.
Sepotong nyawa yang aku miliki bagaikan partikel debu yang tak ada artinya sama sekali. Jika Allah berkehendak bisa saja aku ikut tertimbun reruntuhan atau terseret dalam air bah Tsunami yang mengganas. Minggu itu tanggal 26 Desember 2005 aku berada di Lingke di kos seorang teman karena rencananya kami akan menghadiri acara reuni teman-teman sekolah dulu. Kamu bisa lihat di peta betapa Banda Aceh yang terletak di ujung Sumatra begitu kecil dibanding luas lautan yang mengelilinginya, yah seperti pulau-pulau lain juga di Indonesia.
Awalnya pukul delapan terjadi gempa yang
kurasa lebih besar dari gempa-gempa yang pernah terjadi selama aku hidup. Kami
berlarian keluar dari rumah. Tetangga yang lain juga histeris; panik. Aku hanya
berzikir (masih tenang) melihat kabel-kabel, pohon-pohon yang berayun, air di
selokan yang tumpah ke aspal. Dalam hati aku berkata semua akan baik-baik saja
tapi setelah beberapa menit gempa tak juga berhenti hingga kami mendengar sebuah
wartel rubuh dan tembok Asrama Brimob runtuh (mulai sedikit khawatir). Aku
menelfon kakak dan adikku yang berada di kos kami daerah Lamreung namun sepertinya
tak ada jaringan sama sekali.
Dan gempapun berhenti. Dengan rasa ingin tahu aku dan seorang temanku berjalan ingin melihat reruntuhan tembok Brimob namun belum sampai ke tujuan ketika kami melihat orang-orang berlari ke arah kami sambil berteriak “Lari ie laot teka, lari air laut naik!”. Deg! dalam ketidakmengertian kami juga berlari mengikuti arus manusia yang memadati jalanan. Mobil-mobil, sepeda motor berdesakan ke satu arah. Temanku terus menarik tanganku, jujur saat itu aku lebih banyak bingungnya daripada takut hingga ketika aku menoleh ke belakang kearah Tugu pelajar Simpang Mesra tampaklah air tinggi bergulung-gulung; air bah yang mengganas mengejar kami menelan segala yang ia temui tanpa ampun. Bagai ada yang menuntun beberapa di antara kami berbelok menuju toko yang terbuka dan naik ke lantai atas. Saat menaiki tangga itu aku merasakan kaki dan bawahan rokku tersapu air. Semuanya terjadi dalam hitungam detik. Di lantai dua kami naik lagi keatap bangunan. Dari atas itulah kami melihat pemandangan yang mengerikan. Allah… kemana semua mobil, motor dan orang-orang yang tadi berdesakan di jalanan? Bangunan-bangunan di depan kami semua terendam hingga menyisakan bumbungan atap. Tampak juga seorang laki-laki tersangkut di atas tiang listrik dengan darah di kakinya. Orang-orang menangis. Seorang ayah bertubuh kekar terduduk lunglai menangisi anak dan istrinya yang tertinggal di rumah. Seorang anak kebingungan mencari-cari ibunya. Seorang temanku dengan tubuh basah kuyup terlihat gemetar ternyata ia baru diselamatkan dari lantai satu yang telah penuh air. Temanku yang lain kakinya terluka ketika memanjat tembok menaiki gedung.
Dan gempapun berhenti. Dengan rasa ingin tahu aku dan seorang temanku berjalan ingin melihat reruntuhan tembok Brimob namun belum sampai ke tujuan ketika kami melihat orang-orang berlari ke arah kami sambil berteriak “Lari ie laot teka, lari air laut naik!”. Deg! dalam ketidakmengertian kami juga berlari mengikuti arus manusia yang memadati jalanan. Mobil-mobil, sepeda motor berdesakan ke satu arah. Temanku terus menarik tanganku, jujur saat itu aku lebih banyak bingungnya daripada takut hingga ketika aku menoleh ke belakang kearah Tugu pelajar Simpang Mesra tampaklah air tinggi bergulung-gulung; air bah yang mengganas mengejar kami menelan segala yang ia temui tanpa ampun. Bagai ada yang menuntun beberapa di antara kami berbelok menuju toko yang terbuka dan naik ke lantai atas. Saat menaiki tangga itu aku merasakan kaki dan bawahan rokku tersapu air. Semuanya terjadi dalam hitungam detik. Di lantai dua kami naik lagi keatap bangunan. Dari atas itulah kami melihat pemandangan yang mengerikan. Allah… kemana semua mobil, motor dan orang-orang yang tadi berdesakan di jalanan? Bangunan-bangunan di depan kami semua terendam hingga menyisakan bumbungan atap. Tampak juga seorang laki-laki tersangkut di atas tiang listrik dengan darah di kakinya. Orang-orang menangis. Seorang ayah bertubuh kekar terduduk lunglai menangisi anak dan istrinya yang tertinggal di rumah. Seorang anak kebingungan mencari-cari ibunya. Seorang temanku dengan tubuh basah kuyup terlihat gemetar ternyata ia baru diselamatkan dari lantai satu yang telah penuh air. Temanku yang lain kakinya terluka ketika memanjat tembok menaiki gedung.
Kamipun terus digoyang gempa. Air di bawah
masih menderas, menghitam. Pikiran yang bercampur aduk terus memenuhi otakku.
Bagaimana jika gedung ini runtuh? Bagaimana jika air terus naik ke tempat kami?
Aku merasakan ketakutan yang sangat. Membayangkan diriku tenggelam, air masuk ke hidung, mulut, telinga dan
memenuhi paru-paru serta semua rongga di tubuhku hingga membuatku sesak.
Mendengar rintihan di sekelilingku membuatku gemetar. Aku merasa sangat tak
berdaya. Betapa kecilnya aku. Betapa semuanya begitu mudah bagiNya. Allah bisa
menghancurkan semuanya dalam hitungan detik. Kenapa selama ini aku begitu
sombong? Menunda-nunda melakukan kewajibanku? Menyepelekan amalan-amalan yang
Allah perintahkan? Seolah-olah aku masih punya banyak waktu di dunia ini. Aku
sadar aku belum siap mati. Astagfirullah saat itulah aku teringat Al-quran saku
di ranselku yang secara tidak sengaja terbawa karena kemarin aku mengikuti
pengajian di mushalla kampus. Berdua kami membaca ayat-ayatNya memohon
kemurahan hatiNya. Mengeja tanda-tanda kekuasaanNya yang begitu jelas di
hadapan kami. Dan kepasrahanpun menyelimutiku. Perlahan aku merasa tenang.
Menutup mata dan terus beristighfar.
Setelah beberapa jam air menyurut, kamipun
turun. Saat itu air setinggi lutut. Kami berjalan mencari tempat yang aman.
Beberapa orang tentara membantu kami dan memberitahukan daerah-daerah yang aman.
Kami memutuskan mengikuti orang banyak menuju ke arah Lampineung. Di kiri kanan
jalan kami melihat kehancuran kota ini, di sekeliling kami tampak mayat-mayat
mengenaskan terkapar sepanjang jalan. Kami terus berjalan hingga beberapa
kilometer dan singgah di sebuah Sekolah Dasar yang terletak jauh dari kejadian.
Dan tak tampak lagi tanda-tanda bencana dan memutuskan bermalan di sekolah
itu. Malam itu aku memikirkan kakak dan
adikku dan berharap pamanku menjemput kami. Aku sangat mengkhawatirkan mereka
karena kos kami terletak berseberangan dengan sungai Lamnyoung yang alirannya
langsung bermuara ke lautan hanya beberapa kilometer. Dalam bayanganku
kondisinya pasti lebih parah dari Lingke.
Esoknya aku bergegas ingin kembali ke
kosanku aku harus menemukan kakak dan adikku sedang temanku ia akan ke rumah
pamannya di Lampeneurut. Aku ditemani temanku yang lain menuju Lamreung
melewati pasar Ulee Kareng jalanan masih bersih hingga memasuki simpang tujuh
terus ke arah meunasah papeun jalanan terlihat berlumpur dan beberapa rumah
tampak roboh. Pada sebuah mesjid tampak banyak jenazah sedang dimandikan
(sekedarnya). Aku mendekat dan meminta izin seorang tengku untuk membuka
kafan-kafan itu mungkin ada wajah-wajah yang kukenal. Mungkin teman atau
saudara?. Tapi semua berwajah asing atau aku yang tak lagi bisa mengenali
mereka karena kondisi jenazah yang tragis?. Tengku itu mengatakan kemungkinan
ini adalah korban-korban yang terseret arus dari Krueng Raya.
Aku meneruskan perjalanan dan sampai ke
kos namun tak ada siapa-siapa kondisi rumah kos sangat kotor. Komputer, lemari,
lemari buku,tempat tidur tertutupi lumpur hitam tebal. Peralatan dapur sudah
tak jelas lagi keberadaannya. Aku mencari-cari hingga melihat anak ibu kos ia
mengatakan semua selamat dan mengungsi ke Blang bintang. Aku bersyukur kakak
dan adikku selamat dan mereka juga mengkhawatirkanku. Akupun menyusul mereka ke
Blang Bintang. Malamnya kami dijemput oleh ibu dan orang-orang kampung kami
yang juga mencari saudara-saudara mereka. Tapi pamanku belum juga datang dan
aku mulai mencemaskannya. Ibuku mengatakan daerah Punge (lokasi rumah paman) termasuk daerah yang
terparah. Mereka tak menemukan siapapun
di sana. Hingga saat ini kami tak juga mendengar kabar
keberadaan pamanku dan keluarganya.
Betapa banyak korban dari kejadian yang akhirnya kutahu bernama Tsunami itu. Allah punya rahasia yang kadang tak mampu kita ungkap. Ada hikmah di setiap peristiwa. Semoga Allah menempatkan para korban di tempat yang layak di sisiNya dan menjadikan kita mampu melihat tamnda-tanda dari kekuasaanNya.
![]() |
Picture From Google |
![]() |
Picture From Google |
![]() |
Picture From Google |
Tulisan ini diikutsertakan pada Give Away Pengalaman Pertama Mbak Una yang diadakan oleh mbak Una.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Huaaa, ga kebayang rasanya gimana tuh.
BalasHapusAku waktu itu juga ngerasain gempa jogja dan itu serem banget, gimana tsunami :-s
Terimakasih yaa mbak, segera kucatat :)
pengalaman padalh guru yang bijak,,,,
BalasHapusMudah2an kita nggak ngalamin lg ya mbak Una... Makasih udah buat kontes jd ada alasan utk nulis kejadian ini.
BalasHapusJasmine : Bener banget.... mksh kunjungannya
BalasHapusInnalillah... Astagfirullohaladziim...merinding sekali saya baca kisahnya mbak,, alhamdulillah saya belum pernah mengalami hal seseram itu.. dan sebenarnya dalam hati keegoisan sy pun gak ingin hal itu dialami.. ~_~
BalasHapusTp Alhamdulillah ini nasihat kematian yg langsung menancap tajam..semoga Allah lebih menjadikan diri kita lebih bermakna lg dalam menjalani hidup, agar ketika maut itu menjemput, kita dalam keadaan yg sebaik-baiknya... Allahumma Aamiin.. salam kenal mbak, trimakasih artikelnya... ^_^
Duh, ngeri banget ya...pelajaran yang benar-benar membuat semakin dekat dengan Nya..
BalasHapusSubhanallah.....
BalasHapusjika Allah berkendak untuk menyelamatkan hambanya tidak ada yg bisa mencegahnya begitu juga sebaliknya....
bersyukur Mbak..masih diberi kesempatan utk hidup lbh lama, serta msh diberi kesempatan memaknai hidup dgn baik agar memberi manfaat kepada sesama
Anna : Amin smg kt termasuk dlm org2 yg khusnul khatimah ... nice to know you :)
BalasHapusMbak Rina : Harusnya begitu ya mbak smkn dekat denganNya..
Mas Insan : Benar mas semua atas kehendakNya... terima kasih sdh mengingatkan saya utk terus bersyukur atas nikmat hidup hg detik ini.
BalasHapusMemang luar biasa peringatanNya dg musibah/bencana tsunami tsb.Saya jg msh sdkt trauma jika teringat kembali, akan tenang jika pasrah dan berserah. Kita semua milikNya ya..
Sering aku bilag masih ada hari esok. Padahal, kita ga tau apa yg akan terjadi besok. Kisahnya bisa buat renungan agar tidak menyepelekan waktu ya :)
BalasHapusIya mbak pembelajaran buat kita semua, selama msh diberikan kehidupan lakukan kebajikan. Terima kasih byk kunjungannya mbak Tarry ^_^
BalasHapustarikan nafasku begitu berat dan larut membayangkannya, semoga trauma itu jadi pelajaran berharga menuju menjadi lebih baik..amin
BalasHapusInna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
BalasHapusbergetar saya baca postingannya ini.
Tsunami aceh memang memberi banyak hikmah bukan saja buat warga Aceh tapi seluruh warga dunia.
banyak sekali teman2 saya semasa kuliah dulu yg kehilangan anggota keluarganya.
saya tak bisa membayangkan dalam kondisi seperti yg di alami bunda ini. GEMPA dan Tsunami.
tahun 2006 saya mengalami hal yang sama sewaktu GEMPA JOGJA, kondisinya juga parah dan saya masih trauma sampe sekarang kalau ada gempa.
ada kesadaran memang setelah peristiwa ini, benar2 merasa kematian itu terasa dekat sekali.
insyaAllah dengan kejadian seperti ini jadi ingat bahwa kematian bisa terjadi kapan saja dan kita harus siap menyambutnya.
keep post bunda.
Mas Cilembu tea : amin smg jd pelajaran buat kt semua. Trm ksh kunjungannya smg suatu saat bs ke Cilembu menikmati alam dan keramahannya :)
BalasHapusMas ROe :Setuju bahwa kematian dpt dtg kpn saja dengan cara apa saja... tsunami, gempa, kecelakaan ato mgkn tanpa sebab yg jelas..Trm Ksh
duka yang melanda saudara sebangsa di Aceh tahun 2005 masih berbekas hingga kini,
BalasHapussemoga Allah melapangkan jalan arwah para korban Tsunami menuju surga-NYA...allahumma amiin
BlogS of Hariyanto
gempa dan tsunami di aceh, ya?
BalasHapussampai sekarang saya masih sedih saja mendengarnya. soalnya di sana tanah kelahiran saya
semoga yang ditinggalkan diberi ketabahan :'(
Mas Hariyanto : amin ya rabbalalamin
BalasHapusMas sulung : iya mas...smg semua tabah dan mdpt hikmah.
Fhiuuh...baca postingan ini serasa membuka luka lama... tante sekeluarga sampai skrg hilang tak tentu rimbanya...blm lagi teman, saudara begitu banyak yang mjd korban...Alhamdulilah ibu dan kel kandung saya semua selamat.Subhanallah ya mbak sungguh Allah Maha berkuasa atas segalanya yah... Alhamdulilah mbak jg termasuk orang-orang terpilih yg selamat dari tragedi mengerikan itu dan berkesempatan berbagi cerita sebagai peringatan bagi kita-kita yang masih hidup...
BalasHapusIya bunda...sbnrnya males dan nggak mau nulis ttg ini (ingin melupakan) tp yah mgkn tetap ada hikmah dr kejadian ini ya.. Trm ksh kunjungannya bunda. Blognya bunda bagus...saya suka... smg suatu hari kita sm2 plg ke Aceh dan ketemuan ya bunda sm Harsya dan Syifa jg ^_^ silaturrahmi.
BalasHapusMasya Allah ...
BalasHapusKalau Allah berkehendak ya mbak.
Merinding sekujur tubuh saya baca kisahnya.
Maaf baru bertandang ke blognya mbak Nufus. Saya sudah follow balik yah ^^
http://mugniarm.blogspot.com
Iya mbak....
BalasHapusTerima kasih mbak Mugniar ^_^