Make it happy ending!
Seringkali ketika membaca sebuah
novel yang tidak sederhana, cenderung dramatis bahkan tragis, aku latah
menggumamkan doa “Make it happy ending
please!”. Rasanya begitu menyakitkan jika segala tragedy berlapis yang
dihadapi tokoh-tokoh tak real itu
berakhir dengan kekalahan misalnya kematian, keterhinaan, keterusiran dan
hal-hal tak menyenangkan lainnya. Dan gawatnya, cerita-cerita tragis inilah
yang begitu terkesan dan membekas di memoriku. Bahkan aku akan memikirkannya
sampai beberapa waktu kemudian.
Mas Sakti Wibowo, seorang
novelis dan tentor senior di Forum Lingkar Pena Jakarta pernah mengilustrasikan
pembuatan konflik dengan : Masukkan si tokoh ke dalam sebuah kamar, lalu ikat
tangan dan kakinya di sebuah kursi kayu, plester mulutnya, tutup matanya lalu
bakar kamar itu!. Buat konflik berlapis yang terasa begitu berat. Lalu dengan
cara yang unik buat jalan keluar dari konflik tersebut dengan sesuatu yang tak
terduga, sesuatu yang tak biasa. Maka pembaca akan terkesan dengan cerita itu. Keren banget ya idenya?. Meski tak gampang menciptakan cerita yang
seperti itu, tetap harus ada alur logisnya. Dan ending itu tak selalu happy ada sad ending atau open ending
yang bikin penasaran.
Begitu juga dengan film. Bahkan film tervisualisasi lebih nyata oleh para
actor dengan acting dan berbagai ekspresi mereka. Segala konflik tersaji
langsung di mata kita tanpa kita harus menghayati kata-kata yang tertulis
sebagaimana di novel. Tidak nyata memang (ada juga beberapa yang memang
berdasarkan True Story), tapi ya itu
tadi, menurutku setiap tokoh atau siapapun harusnya bisa merasakan kemenangan
dari segala perjuangan mereka. Mungkin ada yang berpendapat : begitulah hidup,
tak seperti dongeng yang berakhir “Live happily
ever after”.
![]() |
Gambar minkam dari Google. images |
Dan salah-satu film yang kebagian ‘jatah’ doaku adalah : The Shawshank Redemption. Bukan film
baru memang karena diproduksi tahun 1994 yang juga diadopsi dari novelnya
Stephen King. Film ini bercerita tentang Andy Dufresne (Tim Robbins) seorang
Bankir dengan posisi bagus yang harus masuk penjara dengan penjagaan maksimum
karena didakwa membunuh istri dan selingkuhannya. Meski ia tak pernah mengakui
perbuatan itu. Pun kepada teman-teman sepenjara ia mengatakan “ Pengadilan yang
membuatku masuk ke sini” tentu tak ada yang percaya, mereka menjawab “ Tak ada
yang bersalah disini, tak tahukah kamu?”sambil mencibir.
Hidup di penjara dengan maximum security bukanlah hal yang mudah apalagi di malam-malam
awal hingga dua tahun pertama. Siksaan fisik oleh para sipir, kewajiban kerja
kuli, makanan yang berulat hingga sex
harassment oleh beberapa terpidana lainnya membuatnya ‘babak belur’. Namun
ia menemukan inner peace and self
reliance dalam ketidakmanusiawian system penjara. Dan ia juga memiliki
teman-teman yang memiliki hati dan kebaikan. Tapi Andy juga memiliki ‘hope’, sesuatu yang telah dilupakan
oleh terpidana lainnya.
Hingga seorang terpidana baru masuk ke dalam penjara tersebut dan menemui
kenyataan bahwa Andy memang tak bersalah. Ia rela menjadi saksi untuk itu,
namun sang kepala penjara tak ingin Andy bebas karena terlanjur tergantung pada
Andy karena Money Laudry yang
dilakukannya dengan memanfaatkan Andy sebagai banker. Dengan licik iapun
menembak si saksi lalu mengumumkan kalau ia mencoba melarikan diri dari
penjara. Dan Andy mendapat siksaan berat agar ia tak berfikir bahwa ia tak
bersalah dan menginginkan kebebasan.
Hufftt, rasanya tak ada harapan untuk Happy
Ending!. Apalagi cerita-cerita yang berlatar penjara cenderung mirip dengan
cerita-cerita perang yang berakhit tragis.
Tapi tunggu, film ini ternyata memberikan ending tak terduga (menurutku).
Meski pada scene-scene mendekati
akhir Andy terlihat putus asa dan menyerah. Tapi Andy begitu jenius untuk
kalah. Ternyata ia telah merancang kebebasannya sejak hari-hari pertama masuk
ke dalam penjara!. Ia mempunyai mimpi akan hidup selanjutnya. Dan aku puas!.
Jacaranda
Jacaranda |
Pohon cantik berbunga ungu ini adalah satu dari 49 genus yang dimiliki dalam
family Bignoniaceae yang biasanya tumbuh di daerah tropis dan subtropics . Asal
awalnya dari South America yaitu Brazil, Argentina, Uruguay juga mexico dan
central America. Lalu dikenalkan ke Australia, New Zealand, India, Fiji,
Portugal dan beberapa daerah di Afrika, kalau Asia adanya di Nepal. Di Afrika
malahan ada yang dikenal dengan Jacaranda City yaitu daerah Pretonia di South
Afika dikarenakan begitu banyaknya jacaranda yang ditanam di sepanjang jalan,
kebun-kebun dan taman-taman. Sehingga kota itu terlihat begitu ungu jika
dilihat dari atas bukit.
Jacaranda yang mengelilingi Lac Anosy |
Di Madagascar pohon ini juga banyak ditanam di sepanjang jalan, di halaman-halaman rumah bahkan Lac Anosy yang
menjadi landmarknya kota ini dikelilingi oleh jacaranda. Yang ketika sedang
bermekaran tentu akan memperindah danau. Tampak semarak sekali, ungu dimana-dimana.
Anakku, ganteng-ganteng kan? |
Seorang teman pernah bilang kalau
dahulu kala ada seorang janda dan jejaka yang saling jatuh cinta. Namun cinta mereka tak mungkin disatukan karena adat setempat tak merestui hubungan seperti itu. Singkat kata mereka rela mati daripada tersiksa oleh perpisahan lalu merekapun bunuh diri. Keduanya lalu bersatu menjelma sebatang pohon. Itulah sebabnya mengapa tanah disekeliling jacaranda terlihat basah, katanya itu airmata mereka. Nggak enak kalau nggak percaya tapi aku penasaran juga, apa memang ada legenda seperti itu? Setelah mendengar cerita itu aku langsung googling dengan key word Jacaranda legend ; forbidden love ; mith dan kata-kata lain yang kira-kira cocok tapi tak ada cerita seperti itu yang terekan di google
atau aku yang belum dapat ya?.
Adanya malah tentang mitos yang
mengatakan kalau bunga jacaranda terjatuh
di atas kepala maka jika ia adalah seorang pelajar maka ia akan lulus ujian karena memang sih mekarnya itu di
masa-masa ujian universitas. Atau akan mendatangkan good luck lainnya. Kamu percaya?
Tak ada Traffic Light
Jalanan kota |
Pertama kali
sampai di ibu kota Madagascar, Antananarivo aku dan keluarga dijemput dengan
sebuah mobil. Ketika di perjalanan menuju hotel aku celingak celinguk menatap
ke luar jendela. Meski gelap karena sudah pukul dua belas malam ketika itu, aku
tetap bisa melihat jalanan yang lenggang. Mobilpun melaju santai melewati
jalanan yang kiri kanannya terasa sangat
asing.
“Kok jalanan kecil terus ya? Kapan masuk ke
jalan utamanya?” batinku.
Dan ternyata
jalan yang aku bilang kecil itu adalah jalan utama. Tak ada beruas-ruas jalan
yang dipenuhi berbagai kendaraan seperti di kota besar layaknya Jakarta. Tak ada
juga jalan tol, jalan layang, lintasan kereta api apalagi monorel! Dan tak ada Traffic
Light!. Kalau di Jakarta tak ada lampu merah-kuning-hijau yang mengatur para
pengemudi bisa dipastikan akan berdampak macet berkilo-kilo meter ya?.
Jalanannya
juga tak melulu aspal mulus (beneran aspal itu mulus?), pada jalan-jalan yang
menanjak biasa nya dipasang kotak-kota seperti ubin sejenis paving block. Mungkin
itu dimaksudkan agar roda-roda mobil tidak mengalami slip, jika hujan air tidak
akan tergenang karena akan cepat meresap pada celah-celah antar kotak-kotak
itu? (ini hanya teoriku ya bisa jadi salah).
Aku
menyimpulkan kalau kota ini begitu sederhana. Dan daya tariknya itu ada pada
kesederhanaannya itu sendiri.
Aku suka lihat bukit-bukit tinggi itu :) |
Taxi, terlihat tua? |
Meski jalanan
kecil bukan berarti kendaraan disini sedikit. Meski tak sepadat Jakarta (kenapa
terus membanding-bandingkan sih?) disini juga ada yang namanya mecet. Biasanya
pada jam-jam sibuk seperti : jam masuk kerja, jam istirahat kerja dan jam
pulang kerja. Tapi tak lah sampai berjam-jam!. Macetnya itu karena ruas jalan yang sempit, sedang perilaku individunya menurut aku sudah tertib. Terbukti meski tak ada lampu merah,pengemudi sudah tahu kendaraan dari arah mana yang lebih diprioritaskan. Kalau hari Sabtu dan minggu jalanan akan sepi kecuali di
depan-depan pasar tradisional yang memang tak pernah sepi kecuali tengah malam.
Ok, bloogies ini sedikit gambaran tentang kota Antananarivo ^^ semoga banyak sisi lain yang bisa diceritakan kapan-kapan. Oh ya aku lagi baca sebuah novel karangan Saniep Kuncoro yang berjudul Garis Perempuan, semoga juga bisa mereviewnya disini kapan-kapan ;D.
Salam ^^
Ok, bloogies ini sedikit gambaran tentang kota Antananarivo ^^ semoga banyak sisi lain yang bisa diceritakan kapan-kapan. Oh ya aku lagi baca sebuah novel karangan Saniep Kuncoro yang berjudul Garis Perempuan, semoga juga bisa mereviewnya disini kapan-kapan ;D.
Salam ^^
Kunjungan di hari Minggu
Sebenarnya bukan hari Minggu
saja, sudah sejak beberapa hari yang lalu makhluk-makhluk manis yang disebut
anak-anak itu mengintip-intip ke dalam rumah kami. Aku sering melihat mereka
ketika akan mengantar Anas ke sekolah di pagi hari atau ketika menjemputnya di
sore hari. Mereka sering bermain di sepanjang jalan yang kami lalui karena di
dekat situ jugalah rumah mereka. Ketika melintasi mereka itu aku sering
berbisik kepada Anas.
‘Senyum Nas, mereka itu
teman-temanmu disini’
‘Tapi aku nggak bisa ngomong
Bahasa mereka ma’ protesnya.
‘Justru mereka nanti yang akan
mengajarkan kamu, yang penting kamu senyum saja dulu’ dan ragu-ragu iapun
tersenyum pada mereka. Dan seperti orang-orang dewasa di sekitar sini yang
selalu membalas senyuman atau sapaan, anak-anak itupun tak sekedar membalas
senyum itu namun memberi bonus dengan tertawa lebar memperlihatkan gigi geligi
mereka yang kontras dengan warna kulit mereka lalu ‘menceracau’ dengan bahasa
mereka yang aku juga tidak paham.
Hari Minggu kemarin, sepertinya
mereka bosan dengan rutinitas ‘sekedar senyum’, merekapun menggedor-gedor pintu
pagar rumah kami. Dadabe yang
membukakan pintu ragu-ragu menyuruh mereka masuk sebelum mendapat izin dari
aku. Tuhan, siapa sih yang tega menyuruh mereka pergi padahal senyum polos
mereka begitu menyentuh (lebai : mode on).
“Suruh masuk saja Dadabe” kataku
yakin.
Awalnya hanya
dua orang, semakin siang semakin banyak yang datang. Mereka bersemangat sekali
bermain ayunan, bersepeda, memanjat pohon dan berlari-lari di halaman.
Sebenarnya aku khawatir juga sih dengan kedatangan mereka. Sebagai orang
baru aku tidak mengenal anak-anak ini juga keluarga mereka. Apakah aman
membiarkan mereka bebas di halaman rumah kami? Apakah orang tua mereka mengizinkan
mereka bermain disini?. Bagaimana kalau ada yang terluka atau menangis saat
bermain di rumah kami? Dan banyak kekhawatiran lain hingga seharian itu ketika
mereka bermain aku tak berani mengerjakan pekerjaan lain terus mengawasi dan
memperhatikan mereka.
Anak-anak itu seperti lumrahnya anak-anak lain. Polos meski terkadang ‘nakal’.
Oh tidak, mereka tidak nakal mereka hanya ingin tahu dan mengeksplorasi segala
hal. Bukankah itu hal yang bagus?. Dan aku melihat kepada dua orang putraku
Anas dan Azzam, meski mereka belum bisa berbahasa France atau Malagasy merka
tetap ‘nyambung’ bermain. Meski mereka tampak berbeda mereka tak menghiraukan
perbedaan yang ada, yang penting main. Bagaimana dengan kita? Apakah kita
sering mempermasalahkan perbedaan?. Mari belajar dari anak-anak.
9 Matahari : Tekad atau Nekat sih?
Keinginan kuat itu tekad, bukan nekat (Adenita)
Gimana temans, setuju dengan quotes di atas?.
Dan menurutmu, ketika orang tua sama sekali tak menyuplai biaya buat bayar
pendaftaran masuk universitas, bayaran spp, bayar kos dan biaya hidup lainnya, sedang
fee dari kerja sebagai penyiar radio
juga tak mampu menutupi semua kebutuhan yang tak sedikit itu. Maukah kamu tetap
keukeh kuliah?
Lalu, jika
kamu juga tetap ingin kuliah dan meraih gelar sarjana, maukah kamu terlilit
hutang hingga puluhan juta rupiah? Ingat, hutang itu atas namamu (usiamu masih
dua puluhan) yang nominalnya bisa mencapai tujuh puluh juta rupiah. Sedang
setelah selesai kuliah, orang-orang: bahkan keluargamu sendiri tak yakin ijazahmu akan
berguna!. Haduhh berat ya? Tapi itulah yang dialami oleh Matari. Dan ia yakin
perbuatannya itu bukan sebuah kenekatan, meski nyatanya ia kewalahan juga karena
tak memiliki planning yang baik.
Membaca novel
9 matahari karangan Adenita yang (sepertinya) terinspirasi dari kisah nyata ini
membuat saya terpukul (halah; lebai!). Sebagai novel motivasi, kisah ini dibuka
dengan hal-hal yang sedikit berbeda (menurut saya loh ya). Tidak lulus UMPTN
setelah dua tahun lulus dari SMA, kuliah Diploma 1 pada jurusan yang tak
diingini, lalu dibiayai kuliah (juga pada jurusan yang tak disukai) oleh
seorang tantenya yang kemudian hari ia ketahui dari dompet selingkuhannya
(kuliah ini juga tak ia selesaikan karena beban moral) tak membuat Matari melupakan
mimpinya untuk jadi sarjana. Hingga ia membaca pengumuman penerimaan mahasiswa
baru di salah-satu Universitas favorit di Bandung dan jurusannya adalah jurusan
yang sangat ia minati : Ilmu Komunikasi! Itu adalah kesempatan yang datang pada
tahun ketiga.
Iapun membujuk kakak satu-satunya untuk
mendukungnya. Di tengah krisis keuangan keluarga karena ayah yang tak juga
kembali bekerja setelah di phk dari pabrik dan ibu yang hanya ibu rumah tangga
biasa tanpa punya pemasukan apalagi tabungan tentu tak bisa diandalkan. Padahal
kuliahnya adalah Program ekstensi yang tentu biayanya jauh lebih mahal dari
program regular. Maka satu-satunya cara yang Matari fikirkan adalah berhutang!.
Tidak pada satu orang namun pada beberapa orang sekaligus!. Begitu terobsesinya
ia dengan impiannya hingga ia mempunyai definisi sendiri tentang impian dalam
kamus hati dan fikirannya
……kepercayaan
begitu kuat mendorong seseorang untuk maju. Bahkan ketika raganya dirasa sudah
tidak mampu lagi untuk bekerja. Ada akal disana, ada semangat, ada sebuah alam
sadar yang kemudian mampu menggerakan sebuah roda yang bahkan sudah kempis atau
bocor sekalipun. Roda itu memang sudah tidak bisa berputar, tapi ia mampu bergerak
dan berpindah tempat- bukan dengan cara berputar, tapi dengan cara didorong dan
diseret. Apapun… tapi roda itu berpindah tempat!.... (halaman : 36)
Temans, aku
suka sekali analogi roda ini! Dan memang begitulah perjuangan Matari setelah
berhasil masuk dalam lingkungan kampus. Ada semangat belajar tinggi yang
diwarnai rasa waswas dengan keharusan mencari uang. Ada impian yang tak ingin
ia lepas meski orang-orang mengatakan ia tidak realistis.
![]() |
Penampakan novel pinjaman dari pustaka kantor suamiku. |
Berbagai
konflik menghadangnya dan yang terparah adalah : Gangguan Factitious juga Sindrom
Munchausen yaitu salah-satu bentuk gangguan psikologis yang dilandasi oleh
dorongan ketidaksadaran individu untuk berperan sebagai penderita sakit yang dilatar
belakangi oleh disfungsi keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya selama
bertahun-tahun. Kekerasan yang kerap ia alami, baik secara verbal maupun fisik
menimbulkan trauma pada pertumbuhan hidupnya. Hingga ia mengalami periode
ekstrim dimana ia terbaring berminggu-minggu terhimpit segala masalah pelik
hingga melukai dirinya sendiri dengan menyayat-nyayat pergelangan tangannya
dengan pecahan gelas.
Untunglah
kemudian datang orang-orang yang memberikan kasih padanya, memberikan semangat
baru untuk tak berhenti karena ia telah memulai “Pantang Pulang Sebelum
Berhasil”. Dan iapun mulai berguru pada sekolah kehidupan. Everything happens for reason.
Dan iapun kemudian berkenalan orang-orang yang juga mempunyai mimpi.
Lalu bagaimana
kuliahnya? Berhasilkah ia jadi sarjana? Bisakah ia melunasi hutang-hutangnya
yang semakin membesar?. Sepertinya lebih seru kalau temans baca sendiri
kisahnya Matari di novel 9 Matahari. Karena endingnya wow banget! Membuat aku
tersadar bahwa aku juga punya mimpi yang masih menggantung pada langit-langit
yang dipenuhi sarang laba-laba (halah maksudnya apa ini?).
Oke ini
reviewku, Happy Bloging! ^^
Bonjour!
Masalah yang paling terasa sejak
hampir dua bulan sampai di Antananarivo adalah : bahasa!. Nggak enak bangetkan
ketika ada orang yang sudah tersenyum ramah ke kita lalu ngajak ngobrol macam-macam,
tapi kitanya malah bengong nggak ngerti apa yang diomongin dan nggak bisa balas
kecuali bilang “sorry, I don’t speak france!” sambil senyum-senyum malu.
Artinya gagal dapat saudara baru di belantara tanah asing. Dan hidup tanpa
saudara bagai rendang tanpa cabe L.
Begitu juga ketika harus ke pasar.
Transaksinya jadi susah. Aku tahunya Cuma bilang “C’est combien? Berapa harganya?” giliran penjualnya jawab, bingung
lagi. ‘Berapa ya?’. Lalu terpaksa ngeluarin handphone, buka aplikasi kalkulator
dan ngomong lagi, “berapa mbak? Ketikin angkanya dong!” sambil nunjuk
tombol-tombol angka. Dan mengertilah ia kalau aku bukan orang Malagasy karena
memang sih wajah-wajah dan postur tubuh kita dan mereka agak mirip-mirip. Kalau
penjualnya nakal pasti harganya akan dinaikkan dari harga sebenarnya, tapi aku
tetap bisa nawar dengan mengetik lagi deretan angka di bawah angka-angka yang
ia ketik. Kebanyakan mereka akan menggeleng. Dan mereka menang aku malas
nawar-nawar lagi dan terpaksa ambil biar kalau dikonversikan ke rupiah rasanya
‘sayang uang’. Oya 1 ariary (mata uang Madagaskar) setara dengan 5 rupiah. Kalau
harga sepotong baju misalnya 30.000 ariary itu artinya Rp.150.000 padahal baju
yang seperti itu mungkin di tanah abang bisa dapat Rp. 50.000 loh.
Jadi, aku harus
belajar bahasa Perancis nih. Banyak cara untuk belajar tapi melawan malas itu yang
susah.
Kalau hanya mengandalkan
kedisiplinan dari diri sendiri (otodidak) rasanya akan lambat, apalagi kalau
punya penyakit ‘malas ngomong’. Padahal belajar bahasa apapun paling efektif
yah dengan praktek langsungkan? Berani ngomong biar salah. Tapi sifat pendiamku
membuatku malu-malu untuk ngomong. he..he….
Cara lain adalah belajar private
atau take course. Dan adalah madam Faqih yang sudah malang melintang memberikan
private bagi orang-orang Indonesia disini, jadi aku juga memilih private dua
kali seminggu dengan beliau.
Ini sudah pertemuan ketiga dengan
Madam Faquih, setidaknya aku sudah bisa memperkenalkan diri dan menyapa
orang-orang yang baru kutemui dengan kalimat sederhana semisal :
“Bonjour”
“Comment vous appelez vous?”
dan lain-lain.
Oh ya Jumat depan aku akan diajarkan
angka-angka (uang) biar bisa shoping! :D
Bisa juga belajar secara online di :
Tapi ya itu tadi kalau berani ngomong langsung dengan native speaker pasti bisanya leboh cepat.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
25 komentar :
Posting Komentar