Moments To Remember : Based on a true story
![]() |
Salah-satu sudut pesantrenku : Dayah Bustanul Ulum Langsa |
Asrama Cut Meurah Tahun 1996, ketika semuanya masih tampak asing dan
aneh.
Waktu itu aku masih sangat muda, jilbab kakuku yang baru dibelikan mamak
terpasang miring di kepala. Ada semangat yang aneh menyusupi dada melihat kamar
yang berderet-deret yang didalamnya terisi tempat tidur tingkat yang juga berderet.
Lemari-lemari kayu juga di tempatkan berbaris menempel di dinding kamar. Lemari
yang jika pintu tengahnya dibuka dan dua
batang besi siku dipasang di kanan-kirinya akan berubah fungsi menjadi meja
belajar. Keren! Karena aku belum pernah punya lemari yang seperti itu. Aku lalu
bertekad ingin menjadi salah-satu pemilik tempat tidur tingkat itu, juga ingin
merasakan menulis di atas meja lipat itu. Karenanya dua hari ini menjadi hari
yang penting : hari tes masuk pesantren!.
Aku tak sendiri, aku datang bersama dua teman SDku nun dari pelosok Pulau
Tiga sana. Aku senang sekali ketika keduanya mengatakan akan ikut mendaftar ke
pesantren bersamaku. Kesenangan yang ternyata mendatangkan bencana yang
membuatku malu sekali bahkan berpikiran akan langsung gagal memenuhi tekadku tepat di hari pertama tes!.
Begini ceritanya :
Karena nomor kami yang berurutan kami mendapat kursi yang juga berurutan
dari depan ke belakang, dan aku berada di tengah diapit oleh mereka berdua.
Begitu kertas dibagikan aku membaca soal-soal itu dengan semangat karena sebagian
besar pertanyaan-pertanyaannya adalah pelajaran yang telah diberikan di TPAku. Jadi
kuisi pelan-pelan lembar jawabanku. Baru beberapa menit teman belakangku mulai ribut
memanggil-manggil namaku berbisik.
‘Ton nomor satu apa?’ pertanyaan yang tentu membuyarkan
konsentrasiku. Tapi memang aku ini tercipta dengan membawa sifat yang ‘nggak
enakan’, aku membalas bisikannya dengan jawaban yang baru aku tulis di
lembar jawabanku tanpa sadar sepasang mata ustadzah pengawas memperhatikan.
‘Apa? Nggak dengar!’
Aku tak tahu apa namanya; bodoh atau lugu karena kemudian aku meminta
kertas padanya dan menuliskan jawaban di kertas itu. Aku masih ingat
pertanyaannya : Apakah yang dimaksud dengan masbuk?. Kutulis jawabannya
kira-kira begini : Masbuk adalah keadaan dimana seseorang terlambat ikut sholat
berjamaah bersama imam namun ia masih bisa ikut berjamaah dengan menambah
rakaat sejumlah rakaat yang tertinggal. Lalu kertas itu aku angsurkan ke
belakang bertepatan dengan suara keras yang mengagetkan dari depan.
“Kamu! Yang jilbab putih maju kemari, bawa kertas yang tadi kamu kasih ke
teman di belakangmu!”
Deg! Tentu mukaku langsung memerah malu, apalagi kurasakan semua mata di
ruangan itu memandang ke arahku. Gemetar aku berdiri, membawa kertas itu
bersamaku sedang temanku hanya menunduk di bangkunya. Aku merasa dihakimi
sendirian!. Ustadzah pengawas membaca kertas itu dengan raut marah.
“Siapa namamu dan berapa nomor tesmu?”
Aku tak punya pilihan selain menjawab, sambil membayangkan betapa
kecewanya Bapak dan mamak jika tahu aku gagal tes karena menyontek! Memang aku
tak menyontek tapi memberikan contekan mungkin itu juga dikategorikan dalam melakukan
kecurangan. Dalam hati aku menjerit ‘Tolong
jangan bilang orangtuaku! Tolong!’. Tapi tentu ustadzah itu tak mendegar
permohonanku.
“Kamu adeknya E**i S****ma ya?”
Deg! Ustadzah ini tahu nama kakak pertamaku yang telah bertahun silam
lulus dari pesantren ini? Ini lebih gawat!. Tapi aku lalu mengangguk. Aku tak
berani menatap wajahnya juga tak berani menanyakan darimana ia tahu. Tapi tunggu
dulu… aku mengangkat wajahku dan cepat-cepat menangkap wajah sang ustadzah dan
sadar bahwa aku sekali waktu pernah berjumpa dengan ustadzah ini, tepatnya
ketika mendaftar dulu. Mamak yang memang ramah dan selalu punya bahan untuk
dibicarakan dengan siapa saja menegur seorang ustadzah ketika itu sambil memperkenalkan
aku sebagai adik dari E*** kakakku. Dan ustadzah pengawas inilah ustadzah itu. Ustadzah
N** A****h! Iya, itu namanya. Entah karena kakakku dulu salah-satu murid yang
ia kenal atau karena mamak yang berbicara ‘sok akrab’ dengan beliau hingga
beliau mengingat wajahku.
“Duduk!” lalu perintahnya setelah mencatat nama dan nomorku di buku
kecilnya tanpa menanyakan nama temanku! Ini tidak adil!, tapi aku tak berani
protes.
Aku kembali ke bangkuku pasrah tapi hatiku mengeras. Bukan aku yang
menyontek! Dengan mata memanas bahkan ada air yang lalu merembes dari
sudut-sudut mataku. Kuambil kertas di atas mejaku kubaca lalu kuisi dengan
serius. Terserahlah apa yang akan terjadi nanti, aku mungkin akan didiskualifikasi
tapi aku ingin menunjukkan pada ustadzah itu kalau jawabanku lebih baik dari
jawaban teman di belakangku, kalau dia yang harusnya dipanggil kalau nama dan
nomornya yang harusnya dicatat atau setidaknya kami berdua, bukan hanya aku.
Begitu pula tes-tes selanjutnya hari itu dan esok harinya. Aku menjadi
pendiam bahkan temanku itu tak berani meminta maaf mungkin ia juga takut
melihat kediaman dan kesuraman mukaku yang kubagi pada semua orang. Tapi dibalik
itu aku serius belajar dan menjawab soal-soal. Semacam ada keinginan untuk
memiliki nilai terbaik agar pesantren ini merasa rugi jika tak meluluskanku.
Tes pengetahuan agama, tes pengetahuan umum, matematika dasar, tes baca Alquran
hingga psychotes kuikuti dengan tegang. Bahkan di wawancara pada hari terakhir
aku mempersiapkan diri dengan baik : aku ingin terlihat pintar dengan
jawaban-jawabanku. Salah-satu pertanyaan di sesi wawancara itu adalah :
“Acara TV apa yang kamu sukai?” Tanya berpikir lama aku menjawab
“Cerdas-cermat”
“Apalagi?” Tanya penguji
“Cepat tepat” penguji itu diam menunggu jawaban selanjutnya dariku.
“Kuis Aksara Bermakna, Dunia dalam Berita” sebenarnya aku tidak berbohong atau berusaha melakukan pencitraan, itu adalah acara TV favorit Bapakku. Karena Bapak senang menonton acara itu aku
tidak ada pilihan selain ikut menyaksikan tontonan yang sama, dan aku menikmatinya. Kulihat lalu
wajah sang ustad penguji mengangguk-angguk. Lalu
menuliskan nilai di bukunya. Dari gerakan tangannya kutebak ia menuliskan angka
: 9!
Dan rasa tegang itu memuncak ketika malamnya setelah shalat Isya
berjamaah di mushalla pengumuman kelulusan di tempel di salah-satu dinding
kelas yang dekat dengan asrama Cut Meurah tempat dua malam ini kami diinapkan.
Aku tak tahu apakah aku masih pantas berharap untuk lulus setelah kejadian hari
pertama itu. Tapi aku ikut berdesakan dengan mereka yang tentu mencari nama dan
nomor masing-masing. Dan tak butuh waktu lama untuk menemukan nomorku ikut
terketik di kertas itu. Alhamdulillah aku tak mengecewakan orangtuaku. Mungkin
ustadzah itu merasa kasihan? Atau menemukan kebenaran kalau aku tak pantas
ditolak? Hingga tak mendiskualifikasikan aku. Apapun itu, aku bersyukur tak
lama lagi aku akan menjadi salah-satu penghuni pesanren ini, tak lama lagi aku
menjadi santriwati. Keren kan?. Dan setelah beberapa lama belajar di pesantren ini aku menyadari
kalau Ustadz NA menjadi ustadzah idolaku hingga aku menamatkan sekolahku
setelah enam tahun kemudian. Banyak alasan dan banyak kenangan yang tercipta antara kami, yang tentu memberiku banyak pelajaran berarti : tentang kejujuran, tentang kerja keras, tentang berperilaku baik dan banyak lainnya.
To be continue
Awal Mei yang kelabu
Bulan Mei menjadi awal dari musim dingin di Antananarivo. Meski tak
sampai membekukan dengan salju-salju seperti negara-negara empat musim (karena disini tak ada salju) tapi dinginnya
juga menggigilkan dan membuat kami yang belum terbiasa menjadi sakit. Awalnya aku
demam, batuk-batuk yang berujung masuk angin. Lalu Anas dan Azzam juga
ikut-ikutan demam, batuk-batuk, muntah dan diare padahal sungguh tak ada niatku
untuk menularkan penyakit pada mereka... tapi tentulah ya karena aku terus
dekat-dekat mereka atau mereka yang memang tak bisa jauh dari mamanya. Jadilah
bertiga kami meringkuk dibawah selimut tebal saling tatap dengan mata yang
redup. Untungnya Anas lagi libur
sekolah.
Udara dan suasana kelabu, suara batuk yang sahut-sahutan dari pagi sampai
malam hingga tidurku hanya beberapa jam saja, aroma obat, rasa kasihan terhadap
anak-anak tapi juga dengan tubuh yang masih lemah membuat aku : ingin pulang!. Terbayanglah
wajah-wajah saudara nun di Aceh sana. Kalau aku sedang sakit begini mamak dan
kakak-kakakku pasti sigap membuatkan makanan atau membelikan makanan yang aku
mau. Lontong sayur, nasi gurih, mie Aceh, kue putu, sate Padang aduhhh aku
pingin sate padang! Mau cari dimana disini?. Bikin sendiri? Lagi lemes begini
(padahal kalau sehat juga belum tentu bisa ;p). Suamiku satu-satunya yang sehat
tapi dia juga harus kerja bahkan hari Sabtu Minggu juga nggak di rumah… sebagai
istri yang baik yah harus maklum ya? Tapi kalau lagi sakit memang pingin
dimanjakan?. Makanya malam ketika dia pulang, aku ngambek dong.
![]() |
Bisa juga tertidur meski terbangun2 karena batuk |
“Papa kalau nggak bisa temanin mama dan anak-anak yang sakit, kami pulang
aja ya?” hiks kalau diingat-ingat padahal aku ngerti kami belum mungkin pulang
untuk sekarang ini. Tiketnya muahaaalll beud apalagi bertiga.
“Kan papa udah antar ke dokter ma.”
“Cuma ngantar…” aku tahu kalau lagi ngambek pasti aku jadi jelek, tapi
biarin deh.
“Kan ada nany yang bantu di rumah, suruh nany aja masak”
“Nany nggak bisa bikin sate padang pa!” sekilas kulihat juga muka suamiku
tersenyum geli.
“O lagi pingin sate Padang nih ya…. Mahal banget tuh untuk makan sate
padang harus beli tiket pesawat pulang-pergi Antananarivo-Bangkok-Jakarta-Banda
Aceh. Uangnya sayang dong ma.”
“Kalau uangnya nggak cukup buat tiket PP tiket sekali jalan aja juga
boleh”
“Nggak enak di papa dong ditinggal sendiri”
“Makanya rawat dong anak istrinya yang lagi sakit”
Rawatnya gimana ya? Padahal nggak perlu dirawat beneran kok aku dan
anak-anak Cuma perlu minum obat terus istirahat. Dan syukurlah setelah dua kali
ke dokter, dua kali tebus resep di apotik kami sembuh. Tapi Sate Padangnya
belum kesampaian…. Sebagai gantinya aku dan anak-anak makan sandwich aja di
Syalimar Resto, Restoran milik pengusaha muslim India. Memang tak sama tapi tak
apalah…. Semoga dua tahun setengah itu tak lama lagi.
PS : ini cerita dua minggu yang lalu.
Sunday Visitor : Story Telling
Meski
hari Minggu aku lebih repot dengan urusan rumah karena nany libur tetap saja
hari Minggu itu menyenangkan. Salah-satunya karena ada alasan bagiku untuk mengizinkan
anak-anak yang menjadi Sunday Visitorku masuk dan mengamati
beragam polah mereka. Begitu juga Minggu pagi kemarin. Tepat jam sembilan
mereka mulai memanggil-manggil (tentu mereka segan menekan bel rumah).
“Madam
Haya…!” atau “Mama Anas…!”
Jika
aku tak bisa segera menjawab, mereka akan memanggil nama-nama lain.
“Anas!”
“Azzam”
atau “Dadabe!” panggilan gardien kami.
Dan
ketika pintu pagar dibuka mereka akan ‘menyerbu’ ke dalam dengan gembira. Tak perlu
lagi bertanya : ’Boleh main?’
Meski
tanpa persiapan, sebelum bermain aku meminta mereka untuk duduk berkumpul di
atas tikar yang aku gelar di halaman depan.
“Let’s
make Story Telling today” saranku pada mereka.
Kupikir
akan sulit menyuruh mereka duduk diam, ternyata tidak. Mereka suka dengan
ideku, meski tentu mereka lebih memilih menjadi pendengar daripada menjadi
penceritanya. Hingga aku meminta anak yang paling besar diantara mereka untuk
bercerita. Oh ya kenalkan namanya Alex umur 14 tahun, dia baru tiga minggu ini
bergabung dengan anak-anak yang lain.
Cerita
sederhana dari buku yang berjudul Animaux Familiers itu menceritakan tentang
binatang-binatang yang ada di sekitar kita : Kucing, anjing, burung, ikan,
tikus dan kura-kura.
Selesai
Story Telling yang sebenarnya dibawakan dengan cara yang lebih mirip ‘mendikte’
itu, mengabaikan instruksiku untuk memakai ekspresi dan gaya, Alex duduk.
“Gambarlah
hewan-hewan yang ada dalam cerita!” perintahku lagi.
Anas yang langsung memposisikan dirinya
sebagai tuan rumah tampak sibuk dengan peralatan tulisnya. Dan bergerak
membagi-bagikan kertas dan krayon. Kupikir kami butuh suplai buku, kertas,
krayon dan alat tulis lainnya. Dan tentu aku telah punya orang yang bisa
kutodong menjadi donatur. ^^ Tapi untuk seminggu ini orang itu (suami-red)
sedang ke Nosybe sebuah pulau di pesisir Madagascar yang bisa ditempuh 2 jam
dari Antananarivo dengan pesawat, jadi proposalku harus menunggu sampai ia
kembali.
Setelah
itu mereka boleh bermain. Dan permainan yang menjadi favorit mereka adalah :
Sepak bola.
Lagi-lagi
Anas memposisikan dirinya sebagai tuan rumah dengan menjadi orang yang berhak
membagi-bagi mereka dalam dua kelompok. Dan sepertinya ia memilih anak yang
besar-besar masuk dalam kelompoknya. Hahahaaha dan mereka tak protes!
Kelompok
dengan pemain berbadan kecil itupun bermain dengan semangat tak gentar
menghadapi anak-anak yang berbadan besar. Dan usaha itu tak sia-sia hingga
pertandingan berakhir score 3-2 berhasil mereka kumpulkan. Anak-anak berbadan
kecil itu melonjak-lonjak senang. Meski kecewa Anas juga tampak senang dan lalu
ikut berteriak yahhhhh ketika aku bilang waktu habis dan anak-anak itu harus
pulang karena kami juga akan pergi.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
13 komentar :
Posting Komentar